Ditulis oleh Richard Susilo
TRIBUNNEWS.COM - Penulis bukan politisi, tak suka politik, bukan juga pengamat, hanya manusia atau rakyat sederhana, biasa seperti yang lain. Namun dari logika saja saat ini bingung bukan main. Dalam mencalonkan diri sebagai presiden, Menteri saja harus mundur dari jabatannya. Tetapi Gubernur tidak harus mundur, bisa cuti. Begitulah kata teman saya seorang wartawan senior. Logikanya, Gubernur lebih hebat daripada Menteri dong! Kalau salah, maafkan penulis dan maafkan pula wartawan tersebut.
Tapi kalau benar, penulis merasa, ini negara apaan sih? Peraturan dibuat tidak beraturan seperti itu, tidak masuk akal begitu. Logikanya, apabila memang benar demikian, kedudukan Menteri yang katanya di bawah Presiden, ternyata bisa “dikalahkan” Gubernur yang secara struktural berada di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri.
Apalah sistem negara, apalah struktur negara, apalah hukum dan peraturan negara, kalau hasil kenyataan yang ada dan dirasakan di masyarakat tidak adil, aneh, penuh teka-teki, bahkan bisa dianggap merugikan masyarakat itu sendiri.
Belum lagi senior, purnawirawan ABRI saat ini terpecah belah dua pihak pro sana dan pro sini. Saling menjatuhkan sana dan sini. Pusing deh melihat kelakuan para senior jenderal di Indonesia tersebut. Sekali lagi, negara apaan sih ini?
Coba kita lihat negara tetangga Jepang, yang katanya negeri dengan demokrasi parlementer. Berulangkali penulis menyaksikan dengan mata kepala sendiri pemilihan umum dan penentuan PM Jepang di negeri Sakura ini.
Semua aparat politik bermain cantik dan jelas. Tidak menjelekkan, apalagi menjatuhkan satu sama lain di luar ruang parlemen. Saat kampanye semua politisi berbicara platform partai satu sama lain, visi dan misi satu sama lain, bagaimana keuntungan atau kerugian bagi masyarakat.
Tidak ada yang menyerang pribadi politisi satu sama lain. Yang ada semua berbicara dalam kerangka sistem, bagaimana berfungsi sistem itu serta dampak bagi masyarakat.
Pribadi politisi itu sendiri juga terutama dilihat dari ucapan mulutnya, bisa dipegang atau tidak. Dulu mengatakan A sekarang mengatakan B, pasti langsung didesak mundur oleh banyak politisi pihak lawannya, dan dia akan mengundurkan diri karena malu demi parpolnya.
Fondasi Politik Jepang
Menurut penulis, ada empat pilar fondasi politik Jepang, sehingga tampak indah sampai saat ini. Pertama, mengenai kepercayaan dan kejujuran. Satu koin dengan muka depan belakang yang tak bisa dipisahkan. Kepercayaan ada karena kejujuran. Cukup sekali berbohong, tidak jujur di Jepang, hilanglah kepercayaan seseorang kepadanya. Pilar fondasi inilah yang membuat dunia politik Jepang “cantik” dan seolah transparan, mudah dilihat siapa pun.
Kepercayaan dan kejujuran ini yang dipegang teguh warga Jepang di semua bidang kehidupan, bukan hanya di dunia politik saja.
Pilar fondasi kedua adalah tanggungjawab yang besar dan rasa malu yang tinggi. Semakin tinggi tanggungjawabnya, semakin tinggi pula rasa malunya. Seorang Menteri Luar Negeri Jepang, Seiji Maehara, dari partai Demokrat, terpaksa mengundurkan diri hanya karena menerima uang sekitar lima juta rupiah dari seorang ibu yang dia anggap seperti ibunya sendiri.
Sang ibu memberikan uang itu sebagai uang jajan baginya. Karena sudah seperti ibunya sendiri, tidak enak menolaknya, dia menerimanya. Hal itu ketahuan wartawan dan dijadikan berita, Menteri itu pun mengundurkan diri, karena tahu sebagai pegawai pejabat negara tak boleh terima uang seperti itu dari orang lain.
Lalu apa pilar fondasi ketiga? Rasa keadilan yang tinggi untuk mayoritas anggota masyarakat. Apa pun peraturan yang dibuat, dari segala macam partai, semua harus mengacu kepada keuntungan dan keadilan bagi masyarakat. Tak boleh pincang keadilan ini dan tak boleh memunculkan sedikit pun rasa diskriminasi, dalam bentuk apa pun juga, kepada siapa pun juga.
Hal ini terlihat jelas dalam bentuk pelaksanaan hukum di lapangan. Jepang sangat terkenal dengan keadilan yang sangat rata bagi semua orang, bagi semua warga negara. Bahkan tidak ada hakim pengadilannya yang masih aktif melakukan tindakan kejahatan atau kriminal. Termasuk tak ada satu pun yang pernah terkait kasus korupsi. Tetapi yang telah pensiun, memang pernah ada hakim yang tersandung kasus kejahatan.
Mulai tukang terendah di masyarakat, sampai kepala negara, semua pasti terkena hukum bahkan masuk penjara, bagi yang terbukti bersalah di pengadilan. Contohnya sudah banyak , tak perlu dipaparkan di sini.
Artinya apa uraian di atas itu? Inilah pilar fondasi keempat yaitu Pelaksanaan Hukum yang sesuai dengan aturan yang ada dan berkelanjutan, terkoordinasi baik, serta terkontrol baik oleh semua pihak.
Jadi aturan yang dikeluarkan, semua dijalankan atau dilaksanakan dengan baik, tak ada pengecualian bagi siapa pun, di mana pun maupun pada situasi dan waktu apa pun juga. Semua aparat yang berwenang pun menjalankan fungsinya dengan baik, sesuai aturan dan standar aturan operasi yang sudah ditentukan bersama.
Semua pilar fondasi tersebut dijalankan oleh setiap warga negara Jepang dengan baik. Yang tidak menjalankan dipastikan akan mental sendiri, popularitas jauh menurun dan dalam pemilu pasti jumlah pendukung, jumlah suara akan menurun sangat drastis, berakibat dia tak akan bisa duduk di dalam parlemen.
Artinya, alam masyarakat yang sudah terbentuk system dan aturan tata laksana serta etika masyarakat yang sudah established ini, sulit untuk berubah/mengubah atau diubah, karena semua dijalankan dengan empat pilar fondasi yang sama tersebut. Keanehan atau keganjilan yang muncul sudah otomatis terlihat dan otomatis secara alamiah akan menjatuhkan si pelaku yang tidak benar itu.
Hal ini juga berlaku bagi dunia pers Jepang yang berfungsi sebagai kontrol sosial masyarakat, menyuarakan aktif sebagian besar hati nurani masyarakat pula. Melalui pers pula banyak anggota masyarakat terdidik dan menjadi terbuka matanya, menjadi sadar bahwa dia ternyata telah ditipu atau tidak oleh seorang politisi yang selama ini dipujanya mungkin.
Pers Jepang
Memang benar pers Jepang memberikan pendidikan sangat berarti basgi masyarakatnya, berdiri di tengah-tengah masyarakat. Tetapi ingat, ada pula pers yang secara sadar, nyata atau tidak nyata sebagai kepanjangan tangan partai politik tertentu. Apalagi Koran Akahata yang jelas-jelas Koran Partai Komunis maka hanya akan berbicara mengenai Komunis di Jepang.
Koran yang “tidak jelas” atau “diduga” sebagai kepanjangan partai politik tertentu biasanya akan ditinggalkan masyarakat karena masyarakat Jepang umumnya menginginkan Koran berada di tengah, sebagai pilar kelima yang menjaga obyektivitas kehidupan dan perpolitikan di Jepang. Sedangkan pelanggan Koran yang jelas mengacu kepada partai politik tertentu, sudah dapat dipastikan hanya dibeli oleh orang yang mendukung penuh (fanatik kepada) partai tersebut.
Dari uraian di atas jelas, sebenarnya pengaruh pers Jepang sangat penting sekali, benar-benar berada di pilar kelima masyarakat Jepang, berusaha berada di tengah-tengah, tidak pro atau kontra kanan atau kiri.
Fungsinya penuh sebagai upaya mendidik rakyat di segala bidang berjalan dengan baik. Bagi masyarakat pun ikut pula mengontrol pers tersebut. Olehkarena itu Koran atau pers yang ketahunan pro atau anti parpol tertentu bisanya otomatis dijauhkan warga masyarakat karena tahu Koran tersebut “dianggap” tidak professional, hanya menulis dengan warga politik yang disukainya sendiri. Padahal masyarakat Jepang umumnya ingin pers berada di tengah-tengah secara professional.
Akibat semua pelaku masyarakat telah berjalan baik, termasuk persnya yang memang sangat professional umumnya, semua demi kepentingan banyak orang, maka sistem kontrol di masyarakat telah berjalan dengan baik. Masyarakat bisa dengan mudah mengetahui politisi mana yang benar pantas menjabat posisi tertentu atau tidak.
Satu karakteristik menarik pula di Jepang adalah pola pikir Heiwa atau Damai. Semua ingin damai dan sejuk di mana pun dan kapan pun. Seorang politisi yang kelihatan berapi-api memang boleh. Tetapi sedikit saja menyinggung kestabilan rasa damai di masyarakat, siap-siapkan untuk berkurang masa pendukungnya.
Apa pola pikir Damai tersebut? Jangan menjelekkan orang lain. Itulah kuncinya. Dengan menjelekkan orang lain, masyarakat telah sadar, justru itulah yang akan menjadi boomerang, menghantam diri sendiri, titik awal kejatuhan sang politisi. Popularitas pun akan segera turun. Olehkarena itu politisi di Jepang umumnya agresif dalam menjabarkan program dan pola kerjanya serta manfaat bagi masyarakat apabila dia terpilih. Bukan dengan membandingkan apalagi menjelekkan orang lain.
Selama kampanye pemilihan umum juga ramai. Ada saja yang emosi, bahkan ada pula provokator, ada yang memancing-mancing sana dan sini. Tetapi kedewasaan politisi Jepang memang umumnya perlu dicungkan jempol. Mereka berkampanye pun secara damai, dan menepati jadwal kampanye dengan baik. Membersihkan semua sampai setelah masa kampanye selesai.
Semua pihak terasa memiliki tanggungjawab yang besar terhadap masyarakat. Jangan sampai mengotori dalam bentuk apa pun ke dalam masyarakat. Apalagi sampah kertas, spanduk atau alat peraga ampanye apa pun yang kemudian dibiarkan berantakan di tengah masyarakat. Bukan hanya menghantam sang politisi, tetapi juga mengurangi rasa hormat masyarakat terhadap parpol yang bersangkutan, “Wah kacau parpol ini tidak pernah mendidik politisinya barangkali ya?” Begitulah pikiran warga Jepang.
Akhirnya parpol sendiri mendapat kerugian besar hanya gara-gara nila setitik, gara-gara seorang politisi yang tidak membersihkan sampah kampanyenya di suatu daerah kampanye.
Semua terasa indah berpolitik demikian. Teralur renyah dalam sungai yang mengalir sejuk, meskipun di tengah kampanye pemilu. Hati boleh panas tapi pikiran harus dingin. Semua pilar fondasi dijalankan dengan baik, maka kata-kata “Negara apaan sih ini?” pasti akan hilang tertiup kesejukan dan kedamaian semua itu. Mudah-mudahan menjadi pembelajaran bagi kita semua.
*) Penulis adalah Koordinator Forum Ekonomi Jepang Indonesia (JIEF), berdomisili lebih dari 20 tahun di Jepang.
http://www.tribunnews.com/tribunners/2014/05/29/negara-macam-apa-ini