Oleh : Dr. Yusuf Qordhowi
Shalat,
sebagaimana disyariatkan oleh Islam, bukanlah sekedar hubungan ruhani dalam
kehidupan seorang Muslim. Sesungguhnya shalat dengan adzan dan iqamatnya,
berjamaah dengan keteraturannya, dengan dilakukan di rumah-rumah Allah, dengan
kebersihan dan kesucian, dengan penampilan yang rapi, menghadap ke kiblat'
ketentuan waktunya dan kewajiban-kewajiban lainnya' seperti gerakan, tilawah,
bacaan-bacaan dan perbuatan-perbuatan, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam, dengan ini semuanya maka shalat punya nilai lebih dari sekedar
ibadah. Sesungguhnya shalat merupakan sistem hidup, manhaj tarbiyah dan ta'lim
yang sempurna, yang meliputi (kebutuhan) fisik, akal dan hati. Tubuh menjadi
bersih dan bersemangat, akal bisa terarah untuk mencerna ilmu, dan hati menjadi
bersih dan suci.
Shalat
merupakan tathbiq 'amali (aspek aplikatif) dari prinsip-prinsip Islam baik
dalam aspek politik maupun sosial kemasyarakatan yang ideal. Yang membuka atap
masjid menjadi terus terbuka sehingga nilai persaudaraan, persamaan dan
kebebasan itu terwujud nyata. Terlihat pula dalam shalat makna keprajuritan
orang-orang yang beriman, ketaatan yang paripurna dan keteraturan yang indah.
Imam Asy-syahid
Hassan Al Banna berkata, dalam menjelaskan shalat secara sosial, setelah beliau
menjelaskan pengaruh shalat secara ruhani: "Pengaruh shalat tidak berhenti
pada batas pribadi, tetapi shalat itu sebagaimana disebutkan sifatnya oleh
Islam dengan berbagai aktifitasnya yang zhahir dan hakikatnya yang bersifat
bathin merupakan minhaj yang kamil (sempurna) untuk mentarbiyah ummat yang
sempurna pula. Shalat itu dengan gerakan tubuh dan waktunya yang teratur sangat
bermanfaat untuk tubuh, sekaligus ia merupakan ibadah ruhiyah. Dzikir, tilawah
dan doa-doanya sangat baik untuk pembersihan jiwa dan melunakkan perasaan.
Shalat dengan dipersyaratkannya membaca AL Fatihah di dalamnya, sementara AL
Qur'an menjadi kurikulum Tsaqafah Islamiyah yang sempurna telah memberikan
bekal pada akal dan fikiran dengan berbagai hakekat ilmu pengetahuan, sehingga
orang yang shalat dengan baik akan sehat tubuhnya, lembut perasaannya dan
akalnya pun mendapat gizi. Maka kesempurnaan manakah dalam pendidikan manusia
secara individu setelah ini? Kemudian shalat itu dengan disyaratkannya secara
berjamaah, maka akan bisa mengumpulkan ummat lima kali setiap hari dan sekali
dalam satu pekan dalam shalat jum'at di atas nilai-nilai sosial yang baik,
seperti ketaatan, kedisiplinan, rasa cinta dan persaudaraan serta persamaan
derajat di hadapan Allah yang Maha Tingi dan Besar. Maka kesempurnaan yang
manakah dalam masyarakat yang lebih sempurna daripada masyarakat yang tegak di
atas pondasi tersebut dan dikuatkan di atas nilai-nilai yang mulia?
Sesungguhnya
shalat dalam Islam merupakan sarana tarbiyah yang sempurna bagi individu dan
pembinaan bagi membangun ummat yang kuat. Dan sungguh telah terlintas dalam
benak saya ketika sedang menjelaskan prinsip-prinsip kemasyarakatan saat ini
bahwa shalat yang tegak dan sempurna itu bisa membawa dampak kebaikan bagi
pelakunya dan bisa membuang sifat-sifat buruk yang ada. Shalat telah mengambil
dari"Komunisme" makna persamaan hak dan persaudaraan yaitu dengan
mengumpulkan manusia dalam satu tempat yang tidak ada yang memiliki kecuali
Allah yaitu Masjid; dan Shalat telah mengambil dari"kediktatoran"
makna kedisplinan dan semangat yaitu dengan adanya komitmen untuk berjamaah'
mengikuti Imam dalam setiap gerak dan diamnya, dan barang siapa yang
menyendiri, maka ia akan menyendiri dalam neraka. Shalat juga mengambil
dari"Demokrasi" suatu bentuk nasehat, musyawarah dan wajibnya
mengembalikan Imam ke arah kebenaran apabila ia salah dalam kondisi apa pun.
Dan shalat biasa membuang segala sesuatu yang jelek yang menempel pada semua
ideologi tersebut di atas seperti kekacauan Komunisme, penindasan
diktaktorisme, kebebasan tanpa batas demokrasi, sehingga shalat merupakan
minuman yang siap diteguk dari kebaikan yang tidak keruh di dalamnya dan tidak
ada keruwetan"
Karena itu
semua maka masyarakat Islam pada masa salafus shalih sangat memperhatikan
masalah shalat, sampai mereka menempatkan shalat itu sebagai"mizan"
atau standar, yang dengan neraca itu ditimbanglah kadar kebaikan seseorang dan
diukur kedudukan dan derajatnya. Jika mereka ingin mengetahui agama seseorang
sejauh mana istiqamahnya maka mereka bertanya tentang shalatnya dan sejauh mana
ia memelihara shalatnya, bagaimana ia melakukan dengan baik. Ini sesuai dengan
hadits Rasulullah SAW:
"Apabila kamu melihat seseorang
membiasakan ke Masjid, maka saksikanlah untuknya dengan iman." (HR. Tirmidzi)
Kemudian Nabi
membaca firman Allah sebagai berikut:
"Hanyalah yang memakmurkan
masjid-masjid Allah ialah orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,
serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa
pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk
orang-orang yang mendapat petunjuk." (At-Taubah: 18)
Dari sinilah,
maka pertama kali muassasah (lembaga) yang dibangun oleh Rasulullah SAW setelah
beliau hijrah ke Madinah adalah Masjid Nabawi. yang berfungsi sebagai pusat
ibadah, kampus bagi kajian keilmuan dan gedung parlemen untuk musyawarah.
Umat bersepakat
bahwa siapa yang meninggalkan shalat karena menentang kewajiban shalat dan
karena menghinanya maka ia telah kafir. Dan mereka berbeda pendapat mengenai
orang yang meninggalkan tidak secara sengaja tetapi karena malas, sebagian
mereka ada yang menghukumi kafir dan berhak dibunuh seperti pendapat Imam Ahmad
dan Ishaq. Sebagian lagi ada yang menghukumi fasiq dan berhak dibunuh, seperti
Imam Syafi'i dan Malik, dan sebagian yang lain ada yang mengatakan fasik dan
berhak mendapat ta'zir (hukuman, atau pengajaran dengan dipukul dan dipenjara
sampai ia bertaubat dan shalat, seperti Imam Abu Hanifah. Tidak seorang pun di
antara mereka mengatakan bahwa shalat itu boleh ditinggalkan menurut kehendak
seorang Muslim, jika mau ia kerjakan dan jika ia tidak mau, maka ia tinggalkan
dan hisabnya terserah Allah. Bahkan mereka (para Imam) mengambil kesepakatan
bahwa termasuk kewajiban hakim atau daulah Muslimah untuk ikut mengancam dan
memberi pengajaran bagi setiap orang yang secara terus menerus meninggalkan
shalat.
Maka bukanlah
masyarakat Islam itu masyarakat yang membiarkan orang-orang bergabung dengan
Islam, sementara mereka hidup tanpa ruku' kepada Allah SWT, tanpa mereka
memperoleh.sanksi atau pengajaran dengan alasan bahwa manusia itu mempunyai hak
kebebasan untuk berbuat.
Bukan pula
masyarakat Islam itu masyarakat yang menyamakan antara orang-orang yang shalat
dan orang-orang yang tidak shalat apalagi mengutamakan orang-orang yang tidak
shalat dan menjadikan mereka sebagai pemimpin.
Bukan pula
masyarakat Islam itu yang membangun perkantoran-perkantoran, lembaga-lembaga,
pabrik-pabrik dan sekolah-sekolah, sementara di dalamnya tidak ada Masjid yang
dipergunakan untuk shalat dan didengungkan suara adzan.
Bukanlah
masyarakat Islam itu masyarakat yang sistem kerjanya tidak mengenal waktu
shalat, sehingga bagi siapa saja dari karyawannya yang tak menepati peraturan
itu (yang tidak mengenal waktu shalat) akan dikenakan sanksi yang sesuai dan
akan dituding sebagai berbuat kesalahan.
Bukanlah
masyarakat Islam itu masyarakat yang ketika mengadakan seminar, resepsi,
pertemuan-pertemuan dan ceramah-ceramah, sementara ketika masuk saatnya shalat
tidak ada suara adzan dan tidak didirikan shalat.
Sebelum itu
semuanya, bukanlah dikatakan masyarakat Islam itu masyarakat yang tidak
mengajarkan shalat kepada putera-puterinya di sekolah-sekolah dan di
rumah-rumah, sejak masa kanak-kanak. Maka ketika mereka berusia tujuh tahun
mereka harus diperintahkan, dan ketika berusia sepuluh tahun mereka dipukul
apabila meninggalkan shalat.
Bukanlah
masyarakat Islam itu masyarakat yang tidak menjadikan shalat termasuk
serangkaian kurikulum pendidikan pengajaran dan penerangan yang pantas
diperhatikan dalam agama Allah dan dalam kehidupan kaum Muslimin.