Imam Malik dalam Al-Muwattha' meriwayatkan bahwa Nabi
Muhammad SAW pernah mengirim 'Abdullah ibn Rawahah berangkat ke Khaibar (daerah
Yahudi yang tunduk pada kekuasaan Islam) untuk memungut kharaj dari hasil
tanaman kurma mereka. Rasulullah SAW telah memutuskan hasil bumi Khaibar dibagi
menjadi dua; separo untuk kaum Yahudi sendiri yang mengolahnya dan separonya
lagi diserahkan kepada kaum Muslimin.
Ketika 'Abdullah ibn Rawahah
menjalankan tugasnya, orang-orang Yahudi mendatangi beliau. Mereka mengumpulkan
perhiasan istri-istri mereka dengan niat untuk menyogok. Mereka berkata, ''Ini
untukmu dan peringanlah pungutan yang menjadi beban kami. Bagilah kami lebih
dari separo.''
'Abdullah ibn Rawahah kemudian menjawab, ''Hai orang-orang
Yahudi, dengarkanlah! Bagiku, kalian adalah makhluk yang dimurkai oleh Allah.
Aku tidak akan membawa perhiasan itu dengan harapan aku akan meringankan
(pungutan) yang menjadi kewajiban kalian. Suap yang akan kalian berikan ini
sesungguhnya merupakan suht (harta haram). Sungguh, kami tidak akan
memakannya.''
Dalam riwayat lain dikisahkan tentang sikap Umar ibn
al-Khathab yang pada saat itu menjadi penguasa negara Islam dalam melaksanakan
praktik-praktik kesederhanaan hidup. Umar memakai pakaian bertambal yang sulit
membedakannya secara fisik dengan gaya hidup masyarakat umum yang dipimpinnya.
Beliau pun pantang menikmati kelezatan makanan jika kebanyakan rakyatnya belum
merasakannya. Pada suatu hari, Umar menerima bingkisan makanan dari pembesarnya
di daerah. Kepada utusan itu, Umar menanyakan, ''Apa ini?''
''Makanan ini
biasa dibikin oleh penduduk Azerbaijan,'' ujar utusan itu, ''dan sengaja dikirim
untuk Anda dari 'Atabah ibn Farqad (gubernur Azerbaijan).''
Umar
mencicipinya dan rasanya enak sekali. Beliau bertanya lagi kepada utusan
tersebut, ''Apakah seluruh kaum Muslim di sana menikmati makanan seperti
ini?''
''Tidak, makanan ini hanya untuk golongan tertentu.'' jawab utusan
itu.
Umar menutup kembali wadah makanan itu dengan rapi, kemudian
bertanya pada utusan, ''Di mana untamu? Bawalah kembali kiriman ini serta
sampaikan pesan Umar kepadanya, 'Takutlah kepada Allah dan kenyangkanlah kaum
Muslim terlebih dahulu dengan makanan yang biasanya kamu
makan',''
Sebagai khalifah, Umar pun dikenal sangat menekankan prinsip
kesederhanaan terhadap pejabat bawahannya. Khuzaymah ibn Tsabit berkata, ''Jika
Umar mengangkat seorang pejabat, ia akan menuliskan untuknya perjanjian dan akan
mensyaratkan kepada pejabat itu untuk: tidak mengendarai kuda (yang pada waktu
itu menjadi kendaraan mewah); tidak memakan makanan yang berkualitas tinggi;
tidak memakai baju yang lembut dan empuk; dan tidak pula menutup rumahnya bagi
orang-orang yang membutuhkan dirinya. Jika itu dilakukan, ia telah bebas dari
sanksi.''
Sikap dari kedua pejabat negara yang dikisahkan di atas
tentunya menjadi jaminan bahwa memang korupsi tak pernah ada atau paling tidak
akan sangat jarang ditemukan ketika Islam telah mewarnai kehidupan kenegaraan.
Hal ini lebih diperkuat lagi dengan sistem sanksi Islam untuk para koruptor,
seperti yang disebutkan Abdurrahman al-Maliki dalam Nizham al 'Uqubat, yaitu
dapat dikenai hukum ta'zir 6 bulan hingga 5 tahun. Apabila jumlah yang dikorupsi
dapat membahayakan ekonomi negara, maka koruptor tersebut dapat dijatuhi hukuman
mati. (Ihsanul Muttaqin)
sumber : Republika